Rabu, 28 September 2011

Bukan Ayahku

Aku dihadapannya sekarang. Setelah kemarin sempat shock dengan kehadirannya yang tiba2.Entahlah, aku bingung untuk menentukan rasa yang kurasakan saat ini, sedih kah, marahkah, benci kah , senangkah atau malah biasa saja.
     Aku bingung. Rasa ini terlalu berat untuk ku angkat ke permukaan , sehingga aku sendiri pun tidak bisa menjamahnya, sambil menatapnya aku mencoba menerka nerka  rasa mana yang tepat untuk ku persembahkan di situasi ini, aku masih bingung, pun pada saat ia terus bercerita tentang keadaannya selama ini, selama 16 tahun menghilang dari ku dan ibu. Ekpresi ku masih biasa di depannya, jujur aku bingung, mungkin dia mengira, aku sudah menentukan sikap untuknya. Ia berusaha meyakini ku kalau dia menyesal, aku tidak bisa melihat itu di tengah keadaan ini, terlebih seorang wanita cantik, kira2 15 tahun lebih muda dari ibu, duduk manis menenangkannya, menemaninya dengan setia untuk membuat sebuah pengakuan, pengakuan yang sebenarnya tidak ku perlukan, pengakuan yang berawal dari perjumpaan yang tidak di sengaja, pengakuan yang dibuat dan tertahan selama 16 tahun, wow, akupun takjub.
Inikah dia, ayahku??
     Ayah yang seingatku selalu memanjakanku di saat sebelum kepergiannya, ayah yang selalu membanggakanku di setiap ucapannya. Dan, ayah yang kulihat terbujur kaku dirumah kecil kami 16 tahun yang lalu, ibu yang menjerit jerit saat itu, tidak mendorongku untuk mengeluarkan air mata setetes pun, saat itu ku tak tahu apa sebabnya. Ayah telah tiada, itu fakta 16 tahun yang lalu. Semua sanak saudara dan para tetangga turut dalam pemakaman jenazah ayah. Hari hari berikutnya aku dan ibu menjalani hidup di kota asing, hanya kami berdua, dan aku bahagia, aku sama sekali tidak merasa kehilangan, entahlah apa sebabnya. Aku sangat menikmati hidupku yang terbilang sulit dalam segi materi, tapi ibu terus memenuhi kebutuhanku semaksimal mungkin. Aku 9 tahun waktu itu dan keadaan tidak berubah sampai aku lulus SMA. Baru kemudian aku mengambil peran menjadi tulang punggung setelah aku bekerja di gallery furniture. Gaji yang lumayan, kehidupan kami pun berubah sedikit demi sedikit. ibu bahagia, aku tumbuh menjadi anak yang berbakti, tentu, aku sangat mencintai ibu , wanita juara satu seluruh dunia, hei itu berlebihan kawan, biarlah, toh aku anaknya.
      Dan sekarang, setelah waktu berjalan sesuai dengan yang ku harapkan, di hadapanku duduk dengan tegak sosok yang aku dan ibu kira telah tiada, entah bagaimana ceritanya tadi, tentang ‘permainan’ nya di 16 tahun lalu yang begitu nyata, aku tidak memperhatikan, tidak lain karena aku masih bingung menentukan rasa dan sikap yang tepat. Aku pun tidak mau tahu, dengan cara apa ia bisa menahan nafasnya dan bangkit dari kubur itu, akh, ayah, aku bingung, harus bersikap apa padamu saat ini.
“ ayah khilaf, memilih meninggalkanmu dan ibu dengan cara yang . . .”
“aman . .” jawabku spontan, untuk pertama kalinya aku merespon kalimat panjangnya. Yeah, ayah meninggalkan kami dengan cara yang aman, dia telah mati, maka tidak ada yang tersakiti, kami berpikir ini takdir Tuhan, tapi rupanya, ayah punya rencana lain untuk menjadi orang kaya dan terhormat, ia tidak mampu hidup miskin dengan ibu, ia memilih obat bius  untuk menghentikan nafasnya dan telah menepati janji dengan wanita kaya. Aha, aku ternyata memperhatikan sedikit kalimatnya tadi.
      Kebingungan ku sedikit mereda, aku mulai tenang, maksudnya tidak sebingung tadi, aku mulai menimbang nimbang sikap yang tepat. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tersenyum, “ ayah . .” ucapku yang sekejap membuatnya terharu. Aku mengatur kalimat, berharap ia mengerti kalimatku.
“ayah ga salah, aku, juga ibu. Ayah juga ga terlalu baik, aku , pun juga ibu. Kita hanya manusia biasa, yang ga lepas dari khilaf, kita ga sempurna ayah. Untuk pertemuan ini, anggap ga pernah terjadi, biarkan semua berjalan seperti sebelumnya, antara aku dan ayah sudah selesai”
      Ayah syahdan membelalakkan matanya pertanda terkejut, tepatnya seperti orang tercengang. Aku tidak merespon hal itu, aku bangkit dari dudukku dan bergegas meninggalkan rumah mewahnya. Ku dengar ayah memanggil manggil namaku, aku tidak perduli, tetap berjalan tenang menuju pintu gerbang dan menyetop taksi.
      Kejadian ini tidak akan sampai ketelinga ibu, biarlah ia mengira semua seperti selama ini, dalam benaknya, tetap ada sosok suami yang telah meninggalkannya untuk selama lamanya. Biarlah ibu, menjalani sisa hidupnya dengan hanya tawa dan senyum riang bersama cucunya, bayiku, buah cintaku bersama mas Arya. Tidak tahu kenyataan itu lebih baik, dari pada tahu tapi ibu sakit hati. Menerima kenyataan ayah meninggalkannya dengan cara yang kusebut aman.
     Tapi tiba2, masih didalam taksi, aku berubah pikiran untuk kembali kerumah ayah, aku merasa ada suatu hal yang harus kutunjukkan kepadanya, aku mengeluarkan foto bayiku yang terlihat lucu dari dalam tas, inilah hal itu, ayah harus tahu, ia mempunyai cucu, entahlah, kurasa ini tidak penting tetapi harus kutunjukkan. Aku menyuruh supir taksi untuk kembali kerumah mewah di jalan mawar tadi.
     Sesampainya dirumah ayah, aku langsung dikejutkan dengan kerumunan orang2 dirumahnya, ramai sekali. Ada apa, pikirku. Bisik bisik orang2 itu sedikit kudengar, “ iya kasihan ya, kok bisa tiba2 gitu meninggalnya”. Hah?? Aku terperangah, ayah meninggal, oh tidak tidak, ayah pasti sedang menggunakan obat bius seperti 16 tahun silam.
      Aku menuju ruang tamu, kudapati ayah sama seperti 16 tahun yg lalu, terbujur kaku didalam peti, secepat ini, baru 20menit aku naik taksi dan dia sudah seperti ini. Yang benar saja, celetukku dalam hati. Lalu wanita tadi yang kuduga istrinya, menghampiriku, “ ayah terkena serangan jantung”. “ oh ya??” kataku tanpa respon bersedih. Aku masih berpikir ini semua palsu,ini permainannya lagi. Aku dengan santai memberikan foto bayiku kepada wanita tadi, “ berikan ini kepadanya nanti, kalau obat biusnya sudah hilang dan ia sudah hidup lagi, bilang ini cucunya” kataku sambil berlalu.
“ dia tidak akan hidup lagi, ayahmu benar benar telah pergi, jantungnya tidak lagi berdetak” kalimat wanita itu menghentikan langkahku. “ dan mulai hari ini, kau adalah pemilik tunggal semua kekayaannya, kemarin setelah bertemu denganmu, ia mengubah semua surat wasiatnya, tidak ada hak untukku dan kedua anak kami” lanjut wanita itu.
     Aku langsung terjerembab, terjatuh seperti kelubang tanpa dasar. sedetik aku menyesal, sekejap aku bersedih, semenit aku marah, lalu benci terus begitu, perasaan yang tidak kudapati tadi, kini datang bergerombol dan bertubi tubi. Aku rasakan lututku lemas, ayah benar2 telah tiada, ini bukan sandiwara, jelas sekali, ia menyerahkan semua hartanya, dan kutahu, orang yang tiada tidak membutuhkan itu. Berarti, benar kata wanita itu, aku pewaris tunggal  kekayaan ayahku. Dan ayahku, memang telah meninggal dunia. Berkali kali aku meyakini hatiku, bahwa ayah telah tiada.
      Dan saat hatiku mulai yakin, orang orang itu bersiap membawa jenazah ayah ke pemakaman. Kali ini aku menangis, yah, aku menangis, tangisan yang tertunda selama 16 tahun. Aku jadi mengerti kenapa saat itu aku tidak menangis, ialah karena memang tidak ada yang benar2 pantas untuk di tangisi, kenyataannya, hari ini lah, hari sebenarnya ayah menutup mata.
      Senja telah merangkak naik, aku harus pulang. Kuulurkan tangan kepada wanita itu yang masih sembab matanya. “ sampai disini, aku harus pulang, jika nanti kita bertemu dijalan, anggap kita ga pernah saling kenal” kataku pelan. Wanita itu sedikit terkejut, lalu katanya “ mengenai  hak mu, kapan mau kau urus?”. Aku tersenyum, lalu menggeleng pelan “ menerimanya, sama saja dengan menyetujui sikapnya yang dulu, aku sudah cukup bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, aku minta, untuk tidak melibatkan ku dalam wasiat itu. Terimakasih” aku pun berlalu dari hadapan wanita itu, berharap tidak ada hal yang mempertemukan kami kembali.
       Aku menyetop taksi dan ingin segera sampai dirumah. Hari yang melelahkan, perasaan yang kacau dan pemikiran yang jauh dari logika, semua ada di diriku hari ini. Dan hanya ada satu yang bisa menghempaskan semua itu.
Berkumpul bersama keluarga kecilku, ibu, suami dan bayiku.
        Kisah hari ini telah kutinggalkan di pintu gerbang rumah mewah tadi, tidak ku bawa ke rumah dan kupastikan tidak sedikitpun kata kataku yang menyinggung tentang cerita hari ini. Ibu, selamanya ayah tetap suamimu, kakek dari anakku dan mertua dari mas Arya, tapi bukan lagi… ayahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar